Assalamualaikum Every Body Welcome to my blog Tono Khisimoto Iruka Tansal and i hope usefull for me and you

Advertisement (468 x 60px )

Senin, 01 November 2010

Sumpah Pemuda, Mitos Yang Mulai Pudar

ini ditulis sahabat q : Najip HS Parino seorang mahasiswa jurusan pendidikan sejarah


…sejarah Sumpah Pemuda selama ini tidak lebih dari catatan kaki dalam sejarah Indonesia… (Keith Foulcher)


Selain mengutip penggalan pernyataan Keith Foulcher yang disampaikan pada diskusi Bulan Purnama pada tanggal 26 Juli 2000, saya juga ingin mengatakan bahwa Sumpah Pemuda 1928 adalah Sejarah. Sebagaimana sejarah, maka peristiwa Sumpah Pemuda 1928 telah mengalami proses ideologisasi dan politisasi.

Dengan demikian, terbuka kesempatan bagi kita untuk melihat kembali fragmen historis Sumpah Pemuda. Yah, kita semua menyadari bahwa Sejarah pada dasarnya adalah sebuah dialog tanpa akhir, setiap generasi terbuka untuk memandang sejarah dengan perspektif yang digunakannya.

Pengendalian Sejarah

“Satu-satunya kelompok yang bisa mempertanyakan legitimasi penguasa adalah sejarawan”, demikian pengakuan Khrouchtchev dalam Marc Ferro (1985 : 30). Dengan dokumen primer yang dimilikinya, sejarawan dapat mengungkap dan merekonstruksi peristiwa sosial-politik yang terjadi jauh dimasa lampau tanpa bisa dibantah oleh siapapun. Dari sinilah biasanya timbul semacam tarik-menarik kepentingan antara sejarawan dengan pihak-pihak yang berusaha mengendalikan sejarah.

Asvi Warman Adam menyatakan bahwa sedikitnya terdapat dua cara pengendalian sejarah. Pertama, dengan penambahan unsur tertentu dalam sejarah. Kedua, dengan membuat “kebisuan sejarah”. Berkaitan dengan topik diatas, Sumpah Pemuda, maka pengendalian cara pertama merupakan satu upaya pengendalian sejarah yang terjadi di Indonesia. Peristiwa Sumpah Pemuda telah dibumbui efek-efek ideologis dan politis untuk kepentingan sejarah itu sendiri.

Sumpah Pemuda yang diikrarkan tanggal 28 Oktober 1928 memang merupakan sumpah yang diperlukan pemerintah untuk mendukung retorika pembangunan dengan mengandalkan persatuan dan kesatuan”. Padahal menurut Sartono Kartodirdjo, sebetulnya Manifesto Politik yang dikeluarkan oleh Perhimpunan Indonesia di negeri Belanda tahun 1925 lebih fundamental dari Sumpah Pemuda 1928. Dalam Manifesto Politik 1925 ditunjukkan tiga pernyataan yang didalamnya mencakup konsep nasion Indonesia terdiri dari:

1) Rakyat Indonesia sewajarnya diperintah oleh pemerintah yang dipilih mereka sendiri; 2) Dalam memeperjuangkan pemerintahan sendiri itu tidak diperlukan bantuan dari piohak manapun; 3) Tanpa persatuan yang kokoh dari pelbagai unsur rakyat, tujuan perjuangan itu sulit dicapai.

Ketiga pernyataan tersebut pada intinya berisi prinsip perjuangan yakni unity (persatuan), equality (kesetaraan), dan liberty (kemerdekaan). Sedangkan Sumpah Pemuda sebagaimana ada pada memori kolektif bangsa ini hanya menonjolkan persatuan. Paling tidak demikianlah yang tertanam dalam memori kolektif masyarakat Indonesia selama ini melalui slogan populer “satu nusa, satu bangsa, satu bahasa”

Dekonstruksi Sejarah

Dengan melihat esensi Manifesto Perhimpunan Indonesia (PI) tahun 1925, dapat terlihat dengan jelas bahwa gerakan PI lebih bersifat integratif dan nasionalis karena memiliki berbagai pikiran pokok yang lebih mengarah pada “Ideologi Nasionalis”, antara lain: (1) Kesatuan Nasional: perlunya mengesampingkan perbedaan-perbedaan sempit dan perbedaan berdasarkan daerah dan perlu dibentuk suatu kesatuan aksi melawan Belanda untuk menciptakan negara kebangsaan Indonesia yang merdeka dan bersatu; (2) Solidaritas: tanpa melihat perbedaan yang ada antara sesama orang Indonesia, maka perlu disadari adanya pertentangan kepentingan yang mendasar antara penjajah dan yang dijajah, dan kaum nasionalis haruslah mempertajam konflik antara orang kulit putih dengan kulit sawo matang;

(3) Non-Kooperatif: keharusan untuk menyadari bahwa kemerdekaan bukan hadiah sukarela dari Belanda, akan tetapi harus direbut oleh bangsa Indonesia dengan mengandalkan kekuatan dan kemampuan sendiri dan oleh karena itu tidak perlu mengindahkan dewan perwakilan kolonial seperti Volksraad; (4) Swadaya: dengan mengandalkan kekuatan sendiri perlu dikembangkan suatu struktur alternatif dalam kehidupan nasional, politik, sosial, ekonomi dan hukum yang kuat berakar dalam msayarakat pribumi dan sejajar dengan administrasi kolonial.

Lalu, dimana peranan Sumpah Pemuda 1928 yang selama ini dimitoskan sedemikian hingga menjadi ideologi persatuan dan kesatuan Indonesia? Untuk menjawab pertanyaan tersebut terlebih dahulu kita harus melihat peristiwa Sumpah Pemuda dari konteks darimana asalnya dan pada konteks mana berkembangnya. Untuk konteks perkembangan Indonesia, Sumpah Pemuda harus kita akui sebagai salah satu kunci untuk memahami beberapa gejala dalam sejarah Indonesia, tentunya bukan dalam arti sempit. Pertama, situasi politik pasca 1928. Kedua, bentuk asli Sumpah Pemuda.

Majalah Jong Batak tahun 1928 menurunkan sebuah berita tentang Kongres Pemuda Indonesia atau yang dikenal dengan sebutan Sumpah Pemuda. Saat itu istilah Sumpah Pemuda tidak dipakai. Berikutnya adalah laporan Kongres Pemuda yang berisi tiga butir pernyataan, “Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah satu Indonesia, Kami putra dan putri Indonesia megaku berbangsa satu bangsa Indonesia, Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbahasa satu bahasa Indonesia. Yang menarik, laporan kongres itu karena dua hal.

Pertama, laporan kongres itu ditulis dalam bahasa Belanda, dan laporan yang menyampaikan keputusan kongres itu ditulis dalam bahasa Indonesia, atau bahasa Melayu. Jelas disini terdapat beberapa perbedaan dengan apa yang kita ketahui kemudian. Kedua, penulis laporan itu memberi komentar dan mengatakan bahwa kongres itu penting karena menunjukkan sebuah tahap menuju persatuan yang akan dicapai. Dan hal itu memang benar, dua tahun kemudian terbentuk organisasi Pemuda Indonesia. Jadi jelas, pada zamannya, kongres itu dilihat sebagai sebuah tahap saja, bukan tujuan. Ini berbeda dari apa yang kemudian dimengerti sebagai Sumpah Pemuda dalam penulisan sejarah sekarang.

Berita-berita surat kabar semasa tentang konferensi itu menunjukkan beberapa gejala menarik. Konferensi itu adalah konferensi pemuda pertama yang menggunakan bahasa Melayu-Indonesia sebagai bahasa pengantar. Pada kongres pemuda sebelumnya, selalu memakai bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. Dan jelas kalau kita baca laporan dari zaman itu bahwa penggunaan bahasa Indonesia justru menyebabkan terjadinya kesalahpahaman di antara peserta kongres.

Bahkan, pengamat Belanda yang hadir dengan angkuh mengungkapkan bahwa ketua kongres Sugondo Djojopuspito tidak memadai sebagai ketua dan sangat tidak berwibawa karena kemampuan bahasa Melayu-nya sangat lemah. Beberapa kali terjadi kesalahpahaman antara ketua dan peserta karena menggunakan bahasa yang sesungguhnya bagi mereka masih merupakan bahasa asing. Dalam laporan suratkabar juga dimuat pidato-pidato yang disampaikan dalam bahasa Belanda, tapi kemudian diterjemahkan dalam bahasa Melayu.

Selanjutnya ada juga laporan yang sangat menyentuh hati, ketika ada beberapa peserta yang mengajukan pertanyaan dalam bahasa Belanda karena belum bisa berbahasa Indonesia. Kelihatannya seorang peserta yang sebelum menyampaikan pertanyaan, meminta maaf terlebih dulu. Minta maaf karena sebagai anak Indonesia yang tinggal di pulau Jawa dia merasa belum bisa berbicara dengan menggunakan bahasanya sendiri. Pilihan katanya sangat mengharukan, “belum bisa bahasanya sendiri”. Padahal dia bisa bahasanya sendiri, bahasa Jawa, tetapi di hadapan kongres “bahasanya sendiri” adalah bahasa Melayu.

Dari wacana ini dapat terlihat bahwa bahwa nasionalisme Indonesia dengan bahasa baru, berhasil membebaskan diri dari wacana kolonial karena keberaniannya untuk menempuh jalan baru dengan bahasa itu? Atau, apakah pemakaian bahasa Indonesia waktu itu justru menutupi kelangsungan wacana kolonial, walaupun dalam bentuk terjemahan? Kalau kita telusuri, nasionalisme di negeri bekas jajahan yang lain, kita selalu melihat fenomena kaum nasionalis menghadapi warisan wacana kolonial dalam bahasa mereka sendiri. Seperti di India sebagai bekas jajahan Inggris, kaum terdidiknya setelah kemerdekaan tetap memakai bahasa kolonial.

Kedua, yang menarik perhatian adalah proses sejarah yang mengubah rumusan kata-kata tahun 1928 itu menjadi Sumpah Pemuda yang kita kenal sekarang. Juga tentang bagaimana kongres pemuda 1930 diganti oleh kongres 1928 sebagai tonggak sejarah Indonesia. Jelas kalau kita meneliti sumber-sumber sezaman, kongres 1928 itu jauh kurang penting dibandingkan dengan pembentukan Indonesia Muda pada tahun 1930.

Dalam konteks ini menarik dicatat rumusan Sumpah Pemuda yang asli, dan sangat tidak simetris. Pertama dikatakan mengaku bertumpah darah satu, mengaku bertanah air satu, tapi akhirnya menjunjung bahasa persatuan. Ini menarik karena waktu itu tidak mungkin diklaim bahwa semua orang berbahasa satu, bahasa Indonesia. Mereka masih memilih kata-kata yang menunjukkan bahwa bahasa persatuan itu masih merupakan cita-cita yang ingin dicapai, jadi “menjunjung bahasa persatuan”.

Jadi, bentuk asli dari Sumpah Pemuda itu sangat tidak simetris. Waktu itu memang ada kepekaan terhadap masalah bahasa, sehingga saat Indonesia Muda dibentuk pada tahun 1930, mereka melontarkan gagasan serupa dengan tahun 1928 tapi dalam bentuk yang berbeda. Dalam Kongres Pemuda I tahun 1931 dikatakan, “hendak mempersatukan putra dan putri Indonesia yang berbangsa, bertumpah-darah dan bersemangat yang satu”. Jadi jelas menghindari masalah bahasa. Artinya bahasa waktu itu adalah masalah yang peka. Kalau kita melihat laporan suratkabar jelas sering terjadi masalah bahasa. Konsep bahasa persatuan waktu itu dianggap sebagai sesuatu yang bisa meniadakan pentingnya bahasa daerah-daerah, sehingga selalu dihindari.

Yang pasti, tahun 1950 penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional baru dirayakan besar-besaran. Kongres 1928 mulai diperingati di awal dekade 1950-an, dan mula-mula bukan Sumpah Pemuda-nya, tapi lagu Indonesia Raya yang dibawakan untuk pertama kalinya dalam kongres itu. Sumpah Pemuda baru menjadi sesuatu yang penting pada tahun 1957, saat negara kesatuan terancam oleh Permesta.

Pada tahun itu untuk pertama kalinya Sumpah Pemuda dirayakan besar-besaran oleh Soekarno sebagai presiden, hal itu dilakukan untuk mengancam golongan yang masih belum menganut paham kesatuan dan persatuan negara. Sumpah Pemuda kemudian menjadi semboyan dan senjata untuk mendukung ideologi negara. Kalau kita lihat dari sumber sejarahnya, pendapat itu memang bisa dipertahankan. Sumpah Pemuda itu memang ada, tapi bentuknya yang kita kenal sekarang dan penggunaannya untuk kepentingan politik yang terjadi di zaman pemerintahan Soekarno.

Dengan demikian, saat ini kita memerlukan satu kesadaran baru bahwa apa yang kita sampaikan sebagai fenomena atau fakta sejarah, seharusnya selalu kita teliti lebih dahulu. Sumpah Pemuda yang kita kenal sekarang dengan sebelumnya, sungguh berbeda. Sumpah Pemuda sekarang digunakan untuk kepentingan politik, di sini kita melihat dan menyadari hubungan sejarah dan politik. Sejarah juga bisa diciptakan, dan kita tidak harus menerima apa yang diberikan kepada kita sebagai “sejarah”. Sebaliknya, kita harus mempelajari, dan bertanya “mana aslinya?”, secara radikal dapat kita katakan perlu adanya satu dekonstruksi sejarah. Hal ini menjadi penting artinya, mengingat semuanya bisa diubah-ubah sesuai perkembangan politik.

Mimpi Indonesia Masa Depan

Kini, Indonesia bukan lagi ada pada tahun 20-an ataupun beberapa dekade setelahnya. Potret Indonesia masa lalu tidak tepat lagi untuk kita tempatkan saat ini, tantangan bangsa ini sungguh berbeda dengan sejarahnya. Tidak ada alasan untuk terus berkutat dalam wacana masa lalu tanpa membuat satu upaya korelasi dengan konteks Indonesia kini dan nanti.

Namun demikian, bukan berarti kita melupakan masa lalu dan terjebak dalam ‘rememoration’ sejarah, istilah sejarawan Prancis Pierre Nora yang mengelompokkan penulisan sejarah yang lebih menaruh perhatian pada akibat daripada sebab suatu atau serangkaian kejadian itu sendiri. Sejarah sebagai ‘rememoration’ akan mencatat bagaimana usaha menempatkan masa lalu pada tempatnya selalu menemukan hambatan.

Masa lalu masih menjadi medan pertarungan antara mereka yang ingin menjadikannya sebagai sejarah, dalam arti masa lalu yang telah berlalu, dan mereka yang ingin memeliharanya sebagai hantu. Mereka yang memelihara masa lalu sebagai hantu jelas tidak akan pernah belajar apapun dari masa lalu. Mereka telah menjadi ‘sandera dari masa lalu yang mereka bakukan sendiri’. Tanpa keterbukaan terhadap wacana baru, kita membiarkan diri menjadi sandera masa lalu.

Dan, sekarang mari berpikir mengenai konsep “bangsa” secara baru, bangsa sebagai produk historis yang ditimbulkan deretan kejadian yang semua menuju ke satu arah. Seperti kata Renant, bangsa itu merupakan keinginan untuk hidup bersama (le desir de vivre ensemble). Bangsa itu seperti individu-individu merupakan hasil masa silam yang penuh usaha, pengorbanan, dan pengabdian. Bangsa adalah solidaritas besar yang terbentuk karena adanya kesadaran bahwa orang telah berkorban banyak dan bersedia untuk memberikan pengorbanan lagi.

Pengorbanan sederhana berupa pengakuan terhadap kejujuran sejarah. Inilah yang akan mendewasakan kita, dan makin dewasa suatu bangsa, makin mampu untuk menerima sejarah sebagaimana adanya. Adalah karakteristik kaum muda yang jiwanya senantiasa resah melihat bangsanya dan bermimpi untuk mengubahnya. Mimpi kaum muda inilah yang membuat perubahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar